pengertian dan sejarah wayang


pengertian dan sejarah wayang


WAYANG salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara,
seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan. Berikut adalah pengertian dan sejarah wayang


Brikit adalah pengertian dan sejarah wayang

Pengertian Wayang

Kata wayang (bahasa Jawa), bervariasi dengan kata bayang, yang berarti bayangan; seperti halnya kata watu dan batu, yang berarti batu dan kata wuri dan buri, yang berarti belakang. Bunyi b dilambangkan dangan huruf b dan w pada kata yang pertama dengan yang kedua tidak mengakibatkan perubahan makna pada kedua kata tersebut. G.A.J. Hazeu mengatakan bahwa wayang dalam bahasa/kata Jawa berarti: bayangan , dalam bahasa melayu artinya: bayang-bayang, yang artinya bayangan, samar-samar, menerawang.

Pengertian bayang-bayang/bayangan yang lain untuk menerangkan kata dan makna wayang itu dalam bahasa Jawa yang disebut sebagai ayang-ayang. Misalnya seseorang yang sedang berdiri atau duduk di suatu tempat, kemudian ia diterpa cahaya matahari yang mengenai badan orang itu, maka orang itu menghasilkan bayangan. Bayangan inilah yang kemudian oleh orang Jawa sering dinamakan ayang-ayang. Tentu saja panjang-pendeknya ayang-ayang tersebut sangat bergantung pada sudut posisi matahari.

Pengertian wayang di atas lebih beroriantasi pada seni pertunjukan yang memperhatikan/menekankan pada efek yang dihasilkan pada suatu boneka atau sejenisnya setelah benda tersebut dikenal/disorot dengan cahaya yang datangnya dari sebuah lampu (blencong), yang kemudian menghasilkan suatu bayangan. Dari bayangan yang dihasilkan itu kemudian ditangkap oleh sekat, layar(kelir), yang akhirnya menghasilkan bayangan lagi di bagian belakang layer (dibalik kelir). Bila demikian maka terdapat dua bagian bayangan; yang pertama, bayangan di depan layer terjadi apabila boneka tersebut digerakkan menjauhi layer dan mendekati blencong, maka bayangan akan membesar baik didepan atau di belakang layer.

SEJARAH WAYANG

1.Wayang dalam karya sastra


Wayang dalam bentuk karya tertulis banyak jumlahnya. Apabila ditelusuri secara diakronis, maka cerita dengan lakon wayang tidak dapat dipisahkan dari perjalanan karya sastra wayang itu sendiri. Tokoh wayang yang sekarang dikenal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama Jawa, tidak terpisahkan dari epos tanah Hindu(India), terutama Ramayana dan Mahabharata dan perbedaannya dengan yang terdapat di Indonesia, namun ditinjau dari persamaan nama tokoh, maka hal itu tidak dapat dipisahkan (kerangka pemikiran histories), meskipun mengalami sedikit perubahan (transformasi budaya).

Lakon-lakon yang dipentaskan di dalam pertunjukkan wayang tidak secara langsung mengambil dari cerita-cerita yang bersumber dari India (berbahasa Sansekerta) maupun Jawa Kuno, tetapi menyajikan lakon-lakon wayang yang sudah diciptakan dan digubah oleh para pujangga (sastrawan) Jawa pada ‘jaman Jawa baru’, seperti kitab Pustaka Raja Purwa (gagrag Surakarta) dan Serat Kandaning Ringgit Purwa (gagrag Yogyakarta). Paling tidak dari dua sumber tersebut lakon-lakon wayang kemudian diciptakan tersebut dapat dibentuk dalam dua lakon besar, yaitu lakon pokok/baku/lajer/pakem dan lakon carangan.

Wayang yang termuat di dalam suatu karya sastra dapat pula sebagai sumber informasi mengenai pertunjukkan wayang (permainan bayang-bayang), bukan mengenai cerita atau lakon wayang itu sendiri. Sebagai contoh: di dalam Arjunawiwaha Kakawin karya Empu Kanwa, pada jaman Airlangga di Jawa Timur (950 Saka=IX sesudah Masehi), masa kediri, disebutkan mengenai seseorang menonton wayang menangis sedih, bodoh sekali ia, padahal sudah tahu yang disaksikan itu adalah kulit yang ditatah, kata orang ia terkena gaya gaib.

2 Wayang dalam prasasti dan relief candi

Pada masa purba Indonesia, informasi mengenai suatu berita dapat ditulis pada prasasti. Prasasti dapat berupa tonggak batu maupun lempengan tembaga. Sebagai contoh: prasasti Mulawarman dari Kutei, bertulisan Pallawa sekitar tahun 400M, berbentuk yupa (sebuah tugu peringatan upacara kurban), berbahasa Sansekerta dan tersusun dalam bentuk syair. (Soekmono, 1991:53). Prasasti dapat dipandang sebagai benda yang bernilai sejarah. Dari prasasti itu dapat ditelusuri keterangan-keterangan mengenai suatu berita atau cerita pada masa lampau. Dari prasasti itu pula dapat dideteksi mengenai latar belakang/orientasi pemikiran masyarakat pada waktu itu. Sebagai contoh adanya pemikiran religius Jawa Kuna, yang salah satunya dalah menyembah dan menganggungkan dewa-dewa, seperti kepada dewa Wisnu, Brahma, dan Siwa.

Beberapa prasasti telah membuktikan bahwa pertunjukkan wayang telah ada pada jaman kuna. Misalnya empat lempengan tembaga yang di temukan di Bali. Lempengan ini berangka tahun 980 Saka (1058 M) dan isinya telah disalain oleh Van Der Tuuk dan Dr. Brandes. Lempengan ini menyebutkan kata ringgit. Kata ringgit hingga saat ini masih dipergunakan sebagai sinonim dari kata wayang.

Keterangan mengenai wayang juga ditemukan pada relief candi; berupa gambar atau visualisasi tokoh-tokoh wayang yang dipahat pada dinding-dingdingnya. Apabila kita beranggapan bahwa wayang berasala dari gambar-gamabr relief candi, maka dugaan yang dikemukakan adanya usaha orang jaman dulu untuk mengutip gambar pada relief tersebut agar dapat digulung, dan dapat dibawa kemana-mana sehingga dapat dipentaskan atau dipergelarkan. Dugaan tersebut terbukti dengan banyaknya candi yang memuat cerita wayang, misalnya: relief di Candi Prambanan, candi Jago, candi Panatara.

Pada candi-candi tersebut didapatkan stilisasi tokoh-tokoh dalam relief yang tidak serupa dengan wayang kulit Purwa (Jawa) tetapi mirip dengan adanya wayang dari kertas yang dapat digulung dan digelar, terkenal dengan nama wayang beber yang masih tumbuh dan berkembang didaerah Wonosari, Yogyakarta dan Pacitan di Jawa Timur. Sesuai dengan evolusi bentuk stilisasi yang mengilhaminya, maka seyogyanya yang diambil sebagai pola ialah perkembangan terakhir. Disamping itu pada candi Panataran terdapat dua gaya relief, yaitu gaya yang dekat dengan berntuk-bentuk alam, seperti yang terdapat pada cerita Kresnayana dan gaya dekoratif mirip wayang yang terdapat pada panil-panil relief Ramayana. Dengan demikian nampak bahwa tidak benar suatu anggapan yang memandang gaya realistic pada relief candi Panataran kemudian berangsur-angsur berubah menjadi dekoratif seperti yang terdapat pada candi-candi di Jawa Timur yang lebih tua usianya. Kemudian pada candi Jago, terdapat tradisi untuk membatasi adegan-adegan dala mrelief dengan menggunakan gunungan-gunungan atau kayon seperti yang terdapat pada pertunjukan wayang kulit.

Ini rupa-rupanya terpengaruh pekeliran wayang kulit yang selalu mengawali dan mengakhiri adegan-adegannya dengan cara menancapkan gunungan di tengah layer. Tanpa pengaruh ini kiranya mustahil orang sampiai pada pemilihan gunungan atau kayon sebagai pembatas adegan dalam relief candi. Misalnya di candi Surawana, pembatas adegannya ialah motif ikal bersambung yang dibuat menegak memenuhi seluruh tinggi relief. Dengan demikian maka keteragnan tentang wayang pun dapat ditemukan pada prasasti dan relief candi, disamping keterangan mengenai wayang di dalam karya sastra.

0 Response to "pengertian dan sejarah wayang"